Livestreaming situasi pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta - Festival Film Purbalingga 2016, di aula Hotel Kencana, Purbalingga. FullPDF Package Download Full PDF Package. This Paper. A short summary of this paper. 28 Full PDFs related to this paper. Read Paper. RESISTENSI DALAM MUSIK POPULER: LIRIK SEBAGAI MEDIUM POLITICAL MEETING. (Syaefullah 2016) dan pemutaran perdana film Pulau Buru Tanah Air Beta (Rudi 2016) yang memiliki basis ideologi yang bertentangan BukuTetralogi Buru - Pramoedya Ananta Toer - Penerbit April 13th, 2019 - Tetralogi Buru atau Tetralogi Pulau Buru atau Tetralogi Bumi Manusia adalah nama untuk empat novel karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit dari tahun 1980 hingga 1988 dan kemudian dilarang peredarannya oleh Jaksa Agung Indonesia selama beberapa masa acarayang sedianya ruang multimedia akhirnya dipindah ke ruang dekanat Fisipol UGM, meskipun begitu penonton yang merupakan mahasiswa tetap membludak SeleksiNon Kompetisi - 3 Cities Film Festival 2010 View full product details + It's Not Raining Outside - Short Film 100.000,00 It's Not Raining Outside - Short Film Pulau Buru Tanah Air Beta. 100.000,00 Add to Cart "Mereka" bernostalgia akan kisah-kisahnya saat hidup di Pulau "Pengharapan", pengharapan untuk umur yang sepanjang-panjangnya PulauBuru Tanah Air Beta NR 48 min "They" reminisce about their stories of living on the Island of "Hope", hope for a long life, so they can feel the taste of going home one day, among free choices. . NR 48 min"They" reminisce about their stories of living on the Island of "Hope", hope for a long life, so they can feel the taste of going home one day, among free NasutionStarringHersri SetiawanKen SetiawanMovie DetailsFull Cast & Crew Simposium Nasional 1965, seberapapun kita menyangsikan niat dan fungsinya, merupakan jawaban bagi kemustahilan konsensus mengenai peristiwa 1965 dan pembantaian setelahnya. Simposium tersebut setidaknya mampu membuka dialog terkait fakta yang simpang siur di balik salah satu tragedi kemanusiaan terbesar pada abad 20. Lebih penting lagi, publik dapat menyaksikan seluruh prosesi simposium melalui Youtube. Masyarakat membutuhkan simposium ini, terlepas dari apapun rekomendasi yang dihasilkan nantinya. Terlebih lagi sekarang, ketika masyarakat kian erat membentengi kebenaran masing-masing tanpa membuka celah untuk dialog. Memang, simposium yang bertajuk Membedah Tragedi 1965 itu belumlah ideal. Perkara yang paling kentara adalah minimnya waktu bagi setiap orang untuk berbicara, baik bagi para audiens maupun narasumber. Tentu bukan kapasitas saya untuk mencurigai keseriusan penyelenggara, yang dalam hal ini adalah negara, lalu mengoreksi kerangka program, apalagi mengkritik kecakapan moderasi saat diskusi. Dan saya juga tidak tahu berapa waktu yang tepat untuk sepenuhnya mengakomodir semua suara dalam forum. Tapi saya percaya bahwa satu forum jelaslah tidak akan cukup untuk menguak berbagai cerita terkait peristiwa 1965. Perlu ada upaya lain, untuk mendampingi momentum ini, demi tersalurkannya cerita-cerita tersebut ke ruang khalayak dan dialog kita bersama. Pada titik ini, kita bicara tentang kemungkinan dialog yang sehat di tataran sipil. Pasalnya, menjadi ironis ketika upaya dialog tentang peristiwa 65 di berbagai ruang khalayak masih dihantui oleh ancaman pembubaran. Negara, yang dalam hal ini diwakilkan oleh kepolisian, bukannya melindungi malah justru menjadi perpanjangan tangan dari ancaman tersebut—dengan memastikan pihak penyelenggara menuruti ormas. Fasisme-fasisme macam ini jelas berbahaya. Karena ormas tersebut bisa jadi tidak tahu, dan seringnya memang tidak tahu, apa yang mereka larang. Mereka cuma tahu kalau mereka benar, tanpa benar-benar mempertanyakan kebenaran yang mereka percayai. Dan akan terus begitu, karena negara menjamin kebebalan mereka dan menutup kemungkinan terciptanya dialog yang sehat. Film sebagai Suara Selama simposium, ada beberapa narasumber yang menyinggung film sebagai catatan materi mereka. Dua yang disebutkan adalah Senyap 2014 karya Joshua Oppenheimer dan Surat dari Praha 2016 karya Angga Dwimas Sasongko. Kedua film tersebut, terlepas dari kecakapan sinematiknya, terbukti mampu diperhitungkan sebagai bagian dari tragedi kemanusiaan yang menjadi luka negeri ini. Tentunya, masih banyak film-film lain yang mengusung wacana serupa, yang mungkin tidak atau belum terakomodir dalam forum-forum terkait 1965. Pulau Buru Tanah Air Beta adalah salah satunya. Pulau Buru Tanah Air Beta merupakan dokumenter garapan Rahung Nasution yang mengungkap cerita penahanan dan kerja paksa di Pulau Buru 1968-1979. Pemutaran perdananya, pada 16 Maret 2016 lalu, mendapat ancaman demonstrasi dari ormas sehingga pihak penyelenggara membatalkan acara–demi keselamatan pelajar di Goethe. Pemutaran film lalu berpindah ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, berserta pernyataan sikap dari para pihak pembuat Pulau Buru Tanah Air Beta. Saat film diputar, dapat kita saksikan napak tilas Hersri Setiawan, seorang sastrawan Lekra yang pernah mendekam di Pulau Buru. Bersama putrinya, Ken Setiawan, tercipta percakapan antara ekstapol dengan anaknya, yang semasa sekolah dicekoki kebohongan sejarah. Sepotong demi sepotong, masa lalu diceritakan, dan terungkaplah fakta bahwa Pak Hersri tidak terlibat peristiwa 30 September. Nyatanya, ia justru terlibat dalam berbagai perhelatan penting, salah satunya Konferensi Pengarang Asia-Afrika. Pulau Buru Tanah Air Beta juga menampilkan kunjungan Pak Hersri dan kawan eks tapol lain—Tedjabayu Sudjojono salah satunya—ke tempat-tempat yang menjadi saksi dari pembuangan dulu. Ternyata, hampir tidak ada tanda-tanda kehadiran para tapol, serta bekas kerja paksa di sana. Di Desa Savanajaya, hanya ada sebuah gedung kesenian dan satu monumen kecil, berisikan nama-nama tentara selaku pihak yang membangun desa. Padahal para tahanan politik yang mengupayakannya. Lewat obrolan para tokoh, kita dapat memahami apa yang terjadi di sana dulu, sekalipun hanya sedikit artefak yang tersisa sekarang. Kita bisa mendengar bagaimana bentuk awal dari gedung kesenian, ataupun makna monumen di Desa Savanajaya. Terucapkan juga bahwa monumen di Desa Savanajaya tidak perlu dihancurkan, karena di situlah bukti penindasan terjadi. Dan nama-nama yang ada di monumen, justru menampilkan nama-nama para penindas. Selain melalui obrolan para tokoh, Pulau Buru Tanah Air Beta juga menyiasati minimnya catatan sejarah di Pulau Buru lewat pembacaan puisi yang Pak Hersri lakukan. Puisi tersebut menyuguhkan emosi pada tempat-tempat yang membisu–seperti Pantai Sanleko dan sebuah makam atas nama Heru. Ada pula penuturan warga Buru lain, dari yang transmigran hingga aparat negara, mengenai kehadiran para tapol dulu. Kita jadi tahu bagaimana kehadiran para ekstapol dimaknai oleh warga setempat. Seorang petani, misalnya, mengatakan bahwa ia mengetahui cara-cara bersawah dari para tapol dulu. Pelurusan Sejarah Nampak ada upaya meluruskan sejarah dalam Pulau Buru Tanah Air Beta. Tertulis jelas di baju Pak Hersri, “Pulau Buru adalah bukti Orde Baru keliru”. Upaya pelurusan sejarah ini sayangnya terasa agak tanggung, mengingat tidak terlalu banyak data dan narasumber yang film tawarkan. Beda halnya dengan film terkait 1965 lain, yang berupaya memaparkan banyak fakta. Misal, yang juga membahas Lekra, adalah Tjidurian 19. Dalam dokumenter itu, sosok Hersri Setiawan dan kawan-kawan Lekra lainnya juga bercerita mengenai ketegangan politik menjelang 1965, peristiwa coup, dan juga hubungan antara PKI dan Lekra—yang tidak serta-merta sejalan. Tapi tentu tuntutan pelurusan sejarah tidak sepenuhnya diwajibkan pada Pulau Buru Tanah Air Beta. Sebab, pada lingkup yang lebih personal, kita juga bisa melihat film ini sebagai upaya anak mengenal bapaknya—yang kisah hidupnya kerap tersaring propaganda negara. Melalui kehadiran Ken Setiawan itulah, Pulau Buru Tanah Air Beta memperluas cakupannya lebih dari sekadar narasi sejarah. Film ini jadi berbicara tentang aksi yang bisa dilakukan anak muda, yakni melakukan konfirmasi ihwal sejarah negeri ini. Pulau Buru Tanah Air Beta, meski memiliki tawaran yang menarik, masih jauh dari sempurna sebagai film. Perkembangan tiap tokoh tidak terlalu mulus, terutama untuk Ken Setiawan. Kita tidak dipaparkan, misalnya bagaimana Ken pada adegan di akhir bisa sampai seemosional itu. Hal-hal yang ia sebut, seperti obrolannya dengan Pak Tedja dan para esktapol lain, juga tidak terlihat cukup banyak di layar. Tapi rasanya, hal tersebut tidak terlalu jadi soal. Sebab apapun itu kekurangan film ini, menjadi tidak terlalu bermasalah ketika kita melihat Pulau Buru Tanah Air Beta sebagai pelengkap dari film-film lain yang mendokumentasikan peristiwa 1965. Kenyataan bahwa apapun terkait 65 ditutupi oleh rezim, membuat banyaknya upaya pengungkapan dari berbagai medium, salah satunya film. Tapi tentu mereka terbentur pada minimnya jumlah bahan, serta kredibilitasnya di mata publik—yang bisa jadi lebih percaya narasi sejarah versi negara. Konsekuensinya, banyak dokumenter yang ingin bicara 65 akhirnya berserah pada napak tilas—dari narasumber-sumber yang masih hidup. Inilah kemudian kesulitannya, setiap karya menjadi kepingan-kepingan sendiri yang perlu dirangkai kembali dalam kepala penonton. Mengatakan bahwa keutuhan film bisa datang dari luar jelas berisiko. Sebab seakan-akan film bermuatan penguakan fakta tidak perlu tuntas sebagai karya. Dalam hal ini, mungkin perlu dipahami juga bahwa nilai film tidak hanya ada pada tubuh film itu sendiri. Memaksakannya cakap secara tekstual memang perlu, tapi tentu ada kerepotannya sendiri. Misal, jadi memakan waktu yang lama karena harus menelaah setiap kemungkinan yang ada, atau ketika ingin cepat, jadi menghajar batas-batas etika. Wacana-wacana Menyediakan waktu yang lama untuk proses kreatif, dalam urusan pengungkapan isu 1965, jelas dilematis. Sebab semakin lama menunda, semakin tua pula para korban yang ada. Dalam rangkaian footage di Mass Grave 2001 karya Lexy Rambadeta, ada tiga tokoh penting yang sudah tiada Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, dan Ibu Sulami. Tapi hingga akhir hayatnya, yang mereka resahkan tak tuntas pula. Itu baru satu film. Belum film lain, dengan tokoh dan penyintas lain, dari yang ada maupun yang tak ada dalam film. Terkait etika, menjadi menarik untuk melihat lagi tulisan-tulisan terkait Senyap dan Jagal di Cinema Poetica. Thomas Barker, dalam tulisannya berjudul Can We Defend The Act of Killing and The Look of Silence?, mengatakan bahwa dua film Oppenheimer lebih berhasil memantik pewacanaan tentang 1965, ketimbang, misalnya, 40 Years of Silence An Indonesian Tragedy 2009 karya Robert Lemelson. Kemudian itu menjadi fakta yang perlu dipertimbangkan, kalau bukan pembelaan, saat kita membahas etika dalam film Senyap. Walaupun demikian, pernyataan itu pun tetap perlu dipertanyakan. Karena, mendapat sorotan dan dibincangkan bukanlah satu-satunya pencapaian. Yang lebih penting untuk dipertanyakan adalah pewacanaan macam apa, atau obrolan seperti apa, yang muncul ketika Senyap dan Jagal hadir. Dua film tersebut, alih-alih menghasilkan pewacanaan rekonsiliasi, malahan bisa saja memantik kebencian, melalui dikotomi yang membunuh dan yang terbunuh sepanjang narasi film. Harus diakui, Senyap dan Jagal memang istimewa karena mampu menjangkau alam pikir para pelaku. Namun kedua film itu melangkah terlalu jauh. Keduanya tidak sekadar memahami alam pikir pelaku, tapi juga mengeksploitasinya. Celakanya, tanpa disertai konteks yang kuat, kita bisa saja mengklaim para pelaku kejam, seperti halnya para pelaku mengklaim korbannya kejam. Film-film terkait tragedi 1965 mungkin memang punya keutuhan lain, selain keutuhan dalam tubuh film itu sendiri. Bisa jadi, justru nilai dari keutuhan yang di luar film itulah yang lebih penting, mengingat masih kaburnya ingatan kolektif masyarakat tentang 1965. Tidak peduli itu film panjang bioskop seperti Surat dari Praha, film pendek seperti Klayaban, film yang dipertanyakan etikanya macam Senyap dan Jagal, bahkan film propaganda macam Pengkhianatan G30S/PKI. Semua punya nilai yang melebihi nilai intrinsiknya. Asalkan, setiap wacana dalam film itu dikaji dalam sebuah konteks yang relevan, demi kebutuhan berdialog satu sama lain. Dengan begitu, kita bisa jadi tidak perlu mengadakan simposium terus-menerus di semua daerah. Bisa juga dengan merancang program film dengan kerangka yang matang. Dilanjutkan dengan pemutaran keliling, atau mungkin juga pertukaran program di jaringan komunitas film, sekaligus dengan narasumber yang kompeten untuk diskusi. Dengan catatan negara harus melindungi jalannya pemutaran. Artinya, terlebih dahulu perlu ada pengakuan kesalahan negara mengenai tragedi 1965, yang menjadi prakondisi untuk tingkatan akar rumput. Supaya kita bisa berdialog secara sehat melalui pemutaran film dan diskusi bersama. Pulau Buru Tanah Air Beta 2016 Durasi 48 menit Sutradara Rahung Nasution Negara Indonesia Voice from the island Scenes from Pulau Buru Tanah Air Beta, a documentary film by Rahung Nasution. Courtesy of Rahung NasutionThe planned screening of the documentary Pulau Buru Tanah Air Beta Buru Island My Homeland may not be the first event to receive threats for telling stories of the 1965 tragedy, but it boasts a more persistent audience and organizer than most such film, by chef and director Rahung Nasution, had its screening sabotaged on Wednesday by a group of fundamentalists not happy with the materials covered by the film. Similar disruptions have affected the screenings of other film'€™s dealing with the same issue. Public viewings of The Look of Silence by American director Joshua Oppenheimer, for example, were canceled in several regions due to unlike The Look of Silence, that mostly succumbed to protesters'€™ demands, the screening of Pulau Buru Tanah Air Beta still took place, though the organizing committee had to move the event from the Goethe Institute to the National Commission on Human Rights Komnas HAM headquarters in Menteng, Central Jakarta, on Wednesday venue change itself was also a form of protest against the police who refused to guarantee the security of the event.'€œThey can'€™t silence us,'€ organizing committee representative Dhyta Caturani said followed by loud cheers from the audience that packed the screening room at Komnas committee had to organize a second screening to cater for the overwhelming numbers, many not fitting into the first screening as the new venue was smaller than the planned in the Banda Sea, the island of Buru is associated with the country'€™s dark human-rights record around the time of the Sept. 30 coup attempt, which was blamed on the Indonesian Communist Party PKI. Many people who were accused of having connections with the PKI were imprisoned on the island without trial. They included late Indonesian acclaimed author Pramoedya Ananta Toer who refused to be silenced, writing numerous notes, letters and essays during his imprisonment in the other documentary films on this issue only speak about the victims or perpetrators, Pulau Buru Tanah Air Beta has given airtime to a different voice that of the young film tells a story about a young woman named Ken Setiawan who accompanies her father Hersri Setiawan and his friend Tedjabayu on a pilgrimage to Buru Island where they had previously been held captive for years due to their connections with the the island, Ken learns about her father'€™s past and the trauma he suffered. She meets her father'€™s fellow former political prisoners who still live on the island.'€œEvery child must know their parents'€™ history,'€ Ken says at the beginning of the movie, while holding back her tears.'€œThis place [Buru Island] is the first in Indonesia where I feel free to say that I am the daughter of a political prisoner,'€ she says in another Yonar, the film'€™s producer, said that the film was dedicated to the young generation because they were the only hope for the nation in the struggle for truth and reconciliation following the 1965 activists, victims and the families of victims of the 1965 tragedy have demanded the government deliver justice for the hundreds of thousands of people killed and sent into exile without trial during that bloody hope arises under the administration of President Joko '€œJokowi'€ Widodo, who has pledged to resolve past human-rights abuses, including the 1965 crimes. Yet, his promise has not been backed up by action so the press conference before the screening, Hersri himself spoke and expressed regret that Jokowi did not mention the country'€™s dark past during his recent state visit to Buru Island.'€œNot a single word did he mention about the land being developed by the hard work of political prisoners. Without us, Buru Island would not be the major producer of rice it is today,'€ he said in the film'€™s director Rahung said this project was his way of repaying his debt to the nation'€™s history.'€œAs part of the younger generation, I have an obligation to tell the truth. I was told when I was little that Buru Island was an island filled with bad people. But, we know that is not true,'€ he that opinion, Whisnu said the film'€™s target audience was young people because he wanted to see the country nurture young people who were '€œhistory healthy'€ to move toward a better article has been changed to include the correction of quotes by Ken receive comprehensive and earlier access to The Jakarta Post print edition, please subscribe to our epaper through iOS' iTunes, Android's Google Play, Blackberry World or Microsoft's Windows Store. Subscription includes free daily editions of The Nation, The Star Malaysia, the Philippine Daily Inquirer and Asia News. "Mereka" bernostalgia akan kisah-kisahnya saat hidup di Pulau "Pengharapan", pengharapan untuk umur yang sepanjang-panjangnya, supaya dapat merasakan rasanya pulang suatu saat, diantara pilihan bebas, atau... Film dokumenter karya Rahung Nasution Related Items 400 Words - Short Film Description Synopsis SypnopsisAn engaged couple is lunching in a cafeteria, and we follow their conversation as they go into minute detail about what needs to be organized for the upcoming wedding. She stabs compulsively at the food on her plate as they discuss the dowry, and he waves around his hands. We learn that in Indonesia's culturally divided society, neither the preparations nor the wedding itself are simple. This is a glimpse into the life of a modern young people struggling with their parents' cultural legacy. DirectorIsmail Basbeth View full product details Cleaning The Fish - Short Film directed by Myrna Paramitha Pohan, 16 minutes SYNOPSIS This film is about the daily routines of a Javanese married woman. In Java, young women are being prepped before marriage to be good and devoted wife. They are being sent to higher education by their parent not to make a career for them selves, but to eventually find a partner with a higher status and education who can provide for them in every way. The wife is expected to be devoted and serve her husband FESTIVAL CAST-CREW DIRECTOR Myrna Paramita Pohan FIRST ASSISTANT DIRECTOR Ismail Basbeth FIRST ASSISTANCE CAMERA Antomac PRODUCER Myrna Paramita Pohan SECOND ASSISTANT DIRECTOR Ladya Cheryl SECOND ASSISTANT CAMERA Sunavlis EXECUTIVE PRODUCER Amir Pohan ART DIRECTOR Rita Yossy SCRIPT CONTINUITY Azizzah Imam WRITERS Myrna Paramita Pohan, Ladya Cheryl LINE PRODUCER Lyza Basbeth CAST DIRECTOR OF PHOTOGRAPHY Amir Pohan SOUND RECORDING Tommy Fahrizal Putri Ayudya EDITOR Amir Pohan COLOURIST Amir Pohan, Rivai Chen Aryadilla Yarosairy View full product details Ennui - Short Film Directed by Amir Pohan, 14 min A story about a man who is assigned the task of logging countless VHS videotapes by a mysterious stranger. during the duration of his work he meets all sorts of characters, a panda, lost robots and a beautiful girl. View full product details

pulau buru tanah air beta full movie